Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 98% kasus cacar monyet terjadi pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Hal ini mendorong Tedros Adhanom, direktur jenderal WHO, merekomendasikan agar pria mengurangi jumlah pasangan seksual .
PUBLISITAS
Pernyataan tersebut mengkhawatirkan para aktivis dan entitas yang membela hak-hak komunitas LGBTQIA+. Dalam postingan di Instagram, Renan Quinalha, profesor hukum, mengingatkan bahwa pernyataan tersebut – meski bisa dimengerti – bermasalah dan cukup berbahaya. “Ini mungkin memberikan kesan bahwa ini hanya masalah bagi kelompok LGBT, dan seluruh masyarakat juga terkena risiko,” tulisnya.
dokter homofobia
Prasangka datang dari tempat yang paling tidak kita duga. Seorang dokter dari jaringan kota Santo André dicopot dari jabatannya setelah dilaporkan homofobia saat merawat pasien yang diduga menderita cacar monyet. Pada kesempatan itu, pasien Matheus Góis berada questiondiberitahu oleh profesional kesehatan tentang serologi HIV Anda.
“Saya tidak pernah merasa dipaksa atau diperlakukan sebagai pembawa 'wabah gay baru'. Hanya dokter laki-laki yang memperlakukan saya dengan rasa jijik”, komentar Matheus.
PUBLISITAS
Risiko diskriminasi
Di awal bulan ini, Majalah Keperawatan Brasil menerbitkan editorial yang memperingatkan diskriminasi yang dapat ditimbulkan oleh cacar monyet terhadap pasien homoseksual yang tertular. Teks tersebut menyatakan bahwa akan lebih efektif jika berfokus pada praktik hubungan seksual antara individu yang terinfeksi, tanpa berfokus pada orientasi seksual.
Program Gabungan PBB untuk AIDS (UNAIDS) telah menyatakan keprihatinannya mengenai kontribusi media dalam memperkuat stereotip homofobik dan rasis mengenai cacar monyet.
Penting untuk ditekankan bahwa cacar monyet bukanlah infeksi menular seksual. Namun bisa menular melalui kontak intim saat berhubungan seks, bila terdapat tanda-tanda luka di kulit.
PUBLISITAS
Lihat selengkapnya di:
(Foto di atas: Tandai LGBTQIA+/Pixabay/Reproduksi)